Jumat, 13 Januari 2012

CELANA DI BAWAH LUTUT DI ATAS MATA KAKI

Memakai Celana di Bawah Lutut Seorang mahasiswa perguruan tinggi di Surabaya mempertanyakan, apakah bila kita memakai celana harus di atas mata kaki atau harus ditinggikan di bawah lutut? Pertanyaan ini disampikannya terkait anjuran sekelompok umat Muslim di Indonesia bagi kaum laki-laki untuk memakai celana yang tinggi, hampir di bawah lutut. Kelompok ini sudah berkembang di kampus-kampus.

Sepanjang yang kami ketahui, praktik memakai celana di atas mata kaki, ini merujuk pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah. Bahwa Rasulullah SAW bersabda,


مَا أسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإزَارِ فَفِيْ النَّارِ

Sarung (celana) yang di bawah mata kaki akan ditempatkan di neraka

Dari hadits tersebut para ulama berpendapat bahwa sunnah memakai pakaian tidak melebihi kedua mata kaki. Sebagian ulama bahkan mengharamkan mengenakan pakaian sampai di bawah mata kaki jika dimaksudkan lil khulayah atau karena faktor kesombongan. Hal ini juga didasarkan pada hadits lain riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Umar. Rasulullah SAW bersabda,

لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ

Allah tidak melihat orang yang merendahkan pakaiannya dengan penuh kesombongan.

Tentunya ini sesuai dengan konteks saat itu, bahwa merendahkan pakaian atau memakai pakaian di bawah lutut di daerah Arab waktu itu adalah identik dengan ria dan kesombongan.

Nah, secara fiqhiyah, atau menurut para ulama fikih, hadits ini difahami bahwa kain celana atau sarung di atas mata kaki dimaksudkan supaya terbebas dari kotoran atau najis. Artinya masalikul illat atau ihwal disunnahkan mengangkat celana adalah untuk menghindari najis yang mungkin ada di tanah atau jalanan yang kita lewati.

Berdasarkan ketentuan fikih ini, menurut kami, kita dipersilakan memakai pakaian sebatas mata kaki, tidak harus di atasnya, selama kita bisa memastikan akan bisa menjaga celana kita dari kotoran dan najis, misalnya dengan memakai sepatu atau sandal atau mengangkat atau menekuk celana kita pada saat jalanan hujan atau basah.

Perlu direnungkan bahwa berpakaian adalah bagian dari budaya. Dalam Islam kita mengenal istilah tahzin atau etika dalam berpenampilan yang selaras sesuai dengan adat lingkungan setempat. Kita dipersilakan mengikuti tren pakaian masa kini asal tetap mengikuti ketentuan yang wajib yakni untuk laki-laki harus menutupi bagian tubuh dari mulai pusar hingga lutut.

DOA, BACAAN AL-QURAN, SHODAQOH DAN TAHLIL UNTUK ORANG MATI

Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:
وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى
Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)
Juga hadits Nabi MUhammad SAW:
اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.
Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :
وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن
Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)
Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.
وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ
Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ
Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).
Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.
Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.
Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.
Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:
عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ
Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.
Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.

PRAKTIK BID'AH HASANAH PARA SAHABAT SEPENINGGAL RASULULLAH WAFAT

Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat Para sahabat sering melakukan perbuatan yang bisa digolongkan ke dalam bid'ah hasanah atau perbuatan baru yang terpuji yang sesuai dengan cakupan sabda Rasulullah SAW:


مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا

Siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)
Karena itu, apa yang dilakukan para sahabat memiliki landasan hukum dalam syariat. Di antara bid'ah terpuji itu adalah:
a. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini".
Ibn Rajar al- Asqalani dalam Fathul Bari ketika menjelaskan pernyataan Sayyidina Umar ibn Khattab "Sebaik-baik bid'ah adalah ini" mengatakan:
"Pada mulanya, bid'ah dipahami sebagai perbuatan yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Dalam pengertian syar'i, bid'ah adalah lawan kata dari sunnah. Oleh karena itu, bid'ah itu tercela. Padahal sebenarnya, jika bid'ah itu sesuai dengan syariat maka ia menjadi bid'ah yang terpuji. Sebaliknya, jika bidطah itu bertentangan dengan syariat, maka ia tercela. Sedangkan jika tidak termasuk ke dalam itu semua, maka hukumnya adalah mubah: boleh-boleh saja dikerjakan. Singkat kata, hukum bid'ah terbagi sesuai dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam".
b. Pembukuan Al-Qur'an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab yang kisahnya sangat terkenal.

Dengan demikian, pendapat orang yang mengatakan bahwa segala perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah haram merupakan pendapat yang keliru. Karena di antara perbuatan-perbuatan tersebut ada yang jelek secara syariat dan dihukumi sebagai perbuatan yang diharamkan atau dibenci (makruh).

Ada juga yang baik menurut agama dan hukumnya menjadi wajib atau sunat. Jika bukan demikian, niscaya apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar sebagai­mana yang telah dituliskan di atas merupakan perbuatan haram. Dengan demikian, kita bisa mengetahui letak kesalahan pendapat tersebut.
c. Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-­nya bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak. Selain itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan iqamat di atas az-Zawra', yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar Madinah.
Jika demikian, apakah bisa dibenarkan kita mengatakan bahwa Sayyidina Utsman ibn Affan yang melakukan hal tersebut atas persetujuan seluruh sahabat sebagai orang yang berbuat bid'ah dan sesat? Apakah para sahabat yang menyetu­juinya juga dianggap pelaku bid'ah dan sesat?
Di antara contoh bid'ah terpuji adalah mendirikan shalat tahajud berjamaah pada setiap malam selama bulan Ramadhan di Mekkah dan Madinah, mengkhatamkan Al-Qur'an dalam shalat tarawih dan lain-lain. Semua perbuatan itu bisa dianalogikan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW dengan syarat semua perbuatan itu tidak diboncengi perbuatan-perbuatan yang diharamkan atau pun dilarang oleh agama. Sebaliknya, perbuatan itu harus mengandung perkara-perkara baik seperti mengingat Allah dan hal-hal mubah.
Jika kita menerima pendapat orang-orang yang menganggap semua bid'ah adalah sesat, seharusnya kita juga konsekuen dengan tidak menerima pembukuan Al-Qur'an dalam satu mushaf, tidak melaksanakan shalat tarawih berjamaah dan mengharamkan adzan dua kali pada hari Jumat serta menganggap semua sahabat tersebut sebagai orang-­orang yang berbuat bid'ah dan sesat.

Dr. Oemar Abdallah Kemel
Ulama Mesir kelahiran Makkah al-Mukarromah
Dari karyanya "Kalimatun Hadi’ah fil Bid’ah" yang diterjemahkan oleh PP Lakpesdam NU dengan "Kenapa Takut Bid’ah?"

KONTROVERSI PERAYAAN MAULID DAN BID'AH

Perayaan Maulid Nabi dan Kontroversi Ma'na Bid’ah Peryataan bahwa perayaan maulid Nabi adalah amalan bid'ah adalah peryataan sangat tidak tepat, karena bid'ah adalah sesuatu yang baru atau diada-adakan dalam Islam yang tidak ada landasan sama sekali dari dari Al-Qur'an dan as-Sunah. Adapun maulid  walaupun suatu yang baru di dalam Islam akan tetapi memiliki landasan dari Al-Qur'an dan as-Sunah.
Pada maulid Nabi di dalamya banyak sekali nilai ketaatan, seperti: sikap syukur, membaca dan mendengarkan bacaan Al-Quran, bersodaqoh, mendengarkan mauidhoh hasanah atau menuntut ilmu, mendengarkan kembali sejarah dan keteladanan Nabi, dan membaca sholawat yang kesemuanya telah dimaklumi bersama bahwa hal tersebut sangat dianjurkan oleh agama dan ada dalilnya di dalam Al-Qur'an dan as-Sunah.

Pengukhususan Waktu
Ada yang menyatakan bahwa menjadikan maulid dikatakan bid'ah adalah adanya pengkhususan (takhsis) dalam pelakanaan di dalam waktu tertentu, yaitu bulan Rabiul Awal yang hal itu tidak dikhususkan oleh syariat. Pernyataan ini sebenarnaya perlu di tinjau kembali, karena takhsis yang dilarang di dalam Islam ialah takhsis dengan cara meyakini atau menetapkan hukum suatu amal bahwa amal tersebut tidak boleh diamalkan kecuali hari-hari khusus dan pengkhususan tersebut tidak ada landasan dari syar'i sendiri(Dr Alawy bin Shihab, Intabih Dinuka fi Khotir: hal.27).
Hal ini berbeda dengan penempatan waktu perayaan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal, karena orang yang melaksanakan maulid Nabi sama sekali tidak meyakini, apalagi menetapkan hukum bahwa maulid Nabi tidak boleh dilakukan kecuali bulan Robiul Awal, maulid Nabi bisa diadakan kapan saja, dengan bentuk acara yang berbeda selama ada nilai ketaatan dan tidak bercampur dengan maksiat.
Pengkhususan waktu maulid disini bukan kategori takhsis yang di larang syar'i tersebut, akan tetapi masuk kategori tartib (penertiban).
Pengkhususan waktu tertentu dalam beramal sholihah adalah diperbolehkan, Nabi Muhammad sendiri mengkhusukan hari tertentu untuk beribadah dan berziaroh ke masjid kuba, seperti diriwatkan Ibnu Umar bahwa Nabi Muhammad mendatangi masjid Kuba setiap hari Sabtu dengan jalan kaki atau dengan kendaraan dan sholat sholat dua rekaat di sana (HR Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar mengomentari hadis ini mengatakan: "Bahwa hadis ini disertai banyaknya riwayatnya menunjukan diperbolehkan mengkhususan sebagian hari-hari tertentu dengan amal-amal salihah dan dilakukan terus-menerus".(Fathul Bari 3: hal. 84)
Imam Nawawi juga berkata senada di dalam kitab Syarah Sahih Muslim. Para sahabat Anshor juga menghususkan waktu tertentu untuk berkumpul untuk bersama-sama mengingat nikmat Allah,( yaitu datangnya Nabi SAW) pada hari Jumat atau mereka menyebutnya Yaumul 'Urubah dan direstui Nabi.
Jadi dapat difahami, bahwa pengkhususan dalam jadwal Maulid, Isro' Mi'roj dan yang lainya hanyalah untuk penertiban acara-acara dengan memanfaatkan momen yang sesui, tanpa ada keyakinan apapun, hal ini seperti halnya penertiban atau pengkhususan waktu sekolah, penghususan kelas dan tingkatan sekolah yang kesemuanya tidak pernah dikhususkan oleh syariat, tapi hal ini diperbolehkan untuk ketertiban, dan umumnya tabiat manusia apabila kegiatan tidak terjadwal maka kegiatan tersebut akan mudah diremehkan dan akhirnya dilupakan atau ditinggalkan.
Acara maulid di luar bulan Rabiul Awal sebenarnya telah ada dari dahulu, seperti acara pembacaan kitab Dibagh wal Barjanji atau kitab-kitab yang berisi sholawat-sholawat yang lain yang diadakan satu minggu sekali di desa-desa dan pesantren, hal itu sebenarnya adalah kategori maulid, walaupun di Indonesia masyarakat tidak menyebutnya dengan maulid, dan jika kita berkeliling di negara-negara Islam maka kita akan menemukan bentuk acara dan waktu yang berbeda-beda dalam acara maulid Nabi, karena ekpresi syukur tidak hanya dalam satu waktu tapi harus terus menerus dan dapat berganti-ganti cara, selama ada nilai ketaatan dan tidak dengan jalan maksiat.
Semisal di Yaman, maulid diadakan setiap malam jumat yang berisi bacaan sholawat-sholawat Nabi dan ceramah agama dari para ulama untuk selalu meneladani Nabi. Penjadwalan maulid di bulan Rabiul Awal hanyalah murni budaya manusia, tidak ada kaitanya dengan syariat dan barang siapa yang meyakini bahwa acara maulid tidak boleh diadakan oleh syariat selain bulan Rabiul Awal maka kami sepakat keyakinan ini adalah bid'ah dholalah.

Tak Pernah Dilakukan Zaman Nabi dan Sohabat
Di antara orang yang mengatakan maulid adalah bid'ah adalah karena acara maulid tidak pernah ada di zaman Nabi, sahabat atau kurun salaf. Pendapat ini muncul dari orang yang tidak faham bagaimana cara mengeluarkan hukum(istimbat) dari Al-Quran dan as-Sunah. Sesuatu yang tidak dilakukan Nabi atau Sahabat –dalam term ulama usul fiqih disebut at-tark – dan tidak ada keterangan apakah hal tersebut diperintah atau dilarang maka menurut ulama ushul fiqih hal tersebut tidak bisa dijadikan dalil, baik untuk melarang atau mewajibkan.
Sebagaimana diketahui pengertian as-Sunah adalah perkatakaan, perbuatan dan persetujuan beliau. Adapun at-tark tidak masuk di dalamnya. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi atau sohabat mempunyai banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa langsung diputuskan hal itu adalah haram atau wajib. Disini akan saya sebutkan alasan-alasan kenapa Nabi meninggalkan sesuatu:
1. Nabi meniggalkan sesuatu karena hal tersebut sudah masuk di dalam ayat atau hadis yang maknanya umum, seperti sudah masuk dalam makna ayat: "Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.''(QS Al-Haj: 77). Kebajikan maknanya adalah umum dan Nabi tidak menjelaskan semua secara rinci.
2. Nabi meninggalkan sesutu karena takut jika hal itu belai lakukan akan dikira umatnya bahwa hal itu adalah wajib dan akan memberatkan umatnya, seperti Nabi meninggalkan sholat tarawih berjamaah bersama sahabat karena khawatir akan dikira sholat terawih adalah wajib.
3. Nabi meninggalkan sesuatu karena takut akan merubah perasaan sahabat, seperti apa yang beliau katakan pada siti Aisyah: "Seaindainya bukan karena kaummu baru masuk Islam sungguh akan aku robohkan Ka'bah dan kemudian saya bangun kembali dengan asas Ibrahim as. Sungguh Quraiys telah membuat bangunan ka'bah menjadi pendek." (HR. Bukhori dan Muslim) Nabi meninggalkan untuk merekontrusi ka'bah karena menjaga hati mualaf ahli Mekah agar tidak terganggu.
4. Nabi meninggalkan sesuatu karena telah menjadi adatnya, seperti di dalam hadis: Nabi disuguhi biawak panggang kemudian Nabi mengulurkan tangannya untuk memakannya, maka ada yang berkata: "itu biawak!", maka Nabi menarik tangannya kembali, dan beliu ditanya: "apakah biawak itu haram? Nabi menjawab: "Tidak, saya belum pernah menemukannya di bumi kaumku, saya merasa jijik!" (QS. Bukhori dan Muslim) hadis ini menunjukan bahwa apa yang ditinggalkan Nabi setelah sebelumnya beliu terima hal itu tidak berarti hal itu adalah haram atau dilarang.
5. Nabi atau sahabat meninggalkan sesuatu karena melakukan yang lebih afdhol. Dan adanya yang lebih utama tidak menunjukan yang diutamai (mafdhul) adalah haram.dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain (untuk lebih luas lih. Syekh Abdullah al Ghomariy. Husnu Tafahum wad Dark limasalatit tark)
Dan Nabi bersabda:" Apa yang dihalalakan Allah di dalam kitab-Nya maka itu adalah halal, dan apa yang diharamkan adalah haram dan apa yang didiamkan maka itu adalah ampunan maka terimalah dari Allah ampunan-Nya dan Allah tidak pernah melupakan sesuatu, kemudian Nabi membaca:" dan tidaklah Tuhanmu lupa".(HR. Abu Dawud, Bazar dll.) dan Nabi juga bersabda: "Sesungguhnya Allah menetapkan kewajiban maka jangan enkau sia-siakan dan menetapkan batasan-batasan maka jangan kau melewatinya dan mengharamkan sesuatu maka jangan kau melanggarnya, dan dia mendiamkan sesuatu karena untuk menjadi rahmat bagi kamu tanpa melupakannya maka janganlah membahasnya".(HR.Daruqutnhi)
Dan Allah berfirman:"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya."(QS.Al Hasr:7) dan Allah tidak berfirman  dan apa yang ditinggalknya maka tinggalkanlah.
Maka dapat disimpulkan bahwa "at-Tark" tidak memberi faidah hukum haram, dan alasan pengharaman maulid dengan alasan karena tidak dilakukan Nabi dan sahabat sama dengan berdalil dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan dalil!
Imam Suyuti menjawab peryataan orang yang mengatakan: "Saya tidak tahu bahwa maulid ada asalnya di Kitab dan Sunah" dengan jawaban: "Tidak mengetahui dalil bukan berarti dalil itu tidak ada", peryataannya Imam Suyutiy ini didasarkan karena beliau sendiri dan Ibnu Hajar al-Asqolaniy telah mampu mengeluarkan dalil-dalil maulid dari as-Sunah. (Syekh Ali Jum'ah. Al-Bayanul  Qowim, hal.28).

Demikianlah penukilan ini semoga bermanfaat bagi para pembaca. Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith-thariq. Wassalamu alaikum warohmatullohi wa barokatuh

Surat Nabi Muhammad Itu Membuat Raja Kristen Masuk Islam

Surat Nabi Muhammad Itu Membuat Raja Kristen Masuk Islam

Setelah Perjanjian Hudaibiyyah Rasulullah Saw memiliki kesempatan untuk berdakwah yang lebih luas. Beliau mengirimkan banyak surat kepada pembesar di berbagai negeri untuk menyeru mereka kepada Islam.
Pada zaman Rasulullah Saw ada golongan yang beragama Nasrani. Menurut Imam Ibnul Qayyim Al Jauzi, dalam Hidayatu Al-Hayara fi Ajwibati Al-Yahud wa An-Nashara, umat Nasrani pada masa Rasulullah sudah tersebar di sebagian belahan dunia. Di Syam, (hampir) semua penduduknya adalah Nasrani. Adapun di Maghrib, Mesir, Habasyah, Naubah, Jazirah, Maushil, Najran, dan lain-lain, meski tidak semuanya, namun mayoritas penduduknya adalah Nasrani.
Terhadap mereka, Rasulullah SAW senantiasa melakukan Dakwah, seperti yang pernah beliau lakukan kepada Raja Najasyi, seorang Raja Nashrani yang tinggal di Ethiopia. Rasulullah SAW pun mengirimi surat kepada Najasyi untuk bertauhid kepada Allah SWT. Berikut adalah pesan surat tersebut:
"Dari Muhammad utusan Islam untuk An-Najasyi, penguasa Abissinia (Ethiopia). Salam bagimu, sesungguhnya aku bersyukur kepada Allah yang tidak ada Tuhan kecuali Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, dan aku bersaksi bahwa Isa putra Maryam adalah ruh dari Allah yang diciptakan dengan kalimat Nya yang disampaikan Nya kepada Maryam yang terpilih, baik dan terpelihara. Maka ia hamil kemudian diciptakan Isa dengan tiupan ruh dari-Nya sebagaimana diciptakan Adam dari tanah dengan tangan Nya. Sesungguhnya aku mengajakmu ke jalan Allah. Dan aku telah sampaikan dan menasihatimu maka terimalah nasihatku. Dan salam bagi yang mengikuti petunjuk."
Ketika Rasulullah Saw menulis surat kepada Raja Najasyi untuk menjadi seorang muslim, maka Raja Najasyi mengambil surat itu, beliau lalu meletakkan ke wajahnya dan turun dari singgasana. Raja Najasyi  lalu mengirimkan surat kepada Rasulullah Saw dan menyebutkan tentang keislamannya. Beliaupun masuk Islam melalui Ja’far bin Abi Tholib ra.
Raja An-Najasyi akhirnya meninggal dunia pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijriyyah. Rasulullah Saw memberitakan hal itu pada hari wafatnya lalu melakukan shalat ghaib untuknya. Beliau juga mengabarkan bahwa Raja An-Najasyi kelak akan masuk surga.
Rasulullah SAW juga pernah melakukan perperangan terhadap kaum Nashrani. Hal ini bermula ketika salah satu surat beliau telah dibawa oleh Harits bin Umair ra. yang akan diberikan kepada Raja Bushra yang Nashrani. Ketika sampai di Mu’tah, maka Syarahbil Ghassani yang ketika itu menjadi salah seorang hakim kaisar telah membunuh utusan Rasulullah SAW. Membunuh utusan, menurut aturan siapa saja, adalah suatu kesalahan besar. Rasulullah SAW sangat marah atas kejadian itu.
Maka Rasulullah SAW menyiapkan pasukan sebanyak tiga ribu orang. Zaid bin Haritsah ra. telah dipilih menjadi pemimpin pasukan tersebut. Rasulullah SAW bersabda, "Jika ia mati syahid dalam peperangan, maka Ja'far bin Abi Thalib ra. menggantinya sebagai pemimpin pasukan. Jika ia juga mati syahid, maka penlimpin pasukan digantikan oleh Abdullah bin Rawahah ra. Jika ia juga mati syahid, maka terserah kaum muslim untuk memilih siapa pemimpinnya". 

Serial Terjemahan : Inilah Anugrah Rabb Kami

Inilah Anugrah Rabb Kami
Sebuah Fakta Sejarah Dinasti Sa’udi dari Risalah para Ulama dan Pemimpin Mukhlishin
Oleh Abu Asybal Usamah -Raji Afwa Rabbih-
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, Yang mengatur siang dan malam, Membagi rezki diantara makhluk-Nya, Yang Maha Adil lagi Maha bijaksana. Aku bersaksi tiada Ilah melainkan Allah, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan Utusan-Nya yang telah menunaikan amanah, menyampaikan risalah, menasehati ummat dan berjihad di jalan Rabb-Nya dengan sebenar-benarnya jihad serta meninggalkan ummatnya diatas manhaj yang terangbenderang, tidak ada seorangpun yang menyimpang darinya kecuali akan binasa.
Salawat dan salam senantiasa tercurahkan keharibaan baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabat dan orang-orang yang masih istiqomah di atas manhaj beliau.
Adalah merupakan anugrah Allah terbesar seseorang disinari hatinya dengan cahaya tauhid, yang mengantarkan mereka pada kebebasan dari segala bentuk penyembahan kepada penyembahan kepada Rabb alam semesta. Maka tugas mulia para Rasul adalah menegakkan Tauhid di muka bumi. Dan yang bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya yang terbesar ini hanya sedikit. Namun senantiasa akan ada segolongan dari ummat ini yang akan terus menyuarakan tauhid sebagai estafet dari usaha para Rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Akan senantiasa ada di antara kalian ummatku, sekelompok orang yang tampil membela Al-Haq, tidak membahayakan mereka orang yang menelantarkan (tidak menolong) mereka sehingga datang ketetapan Allah, sedang mereka tetap dalam keadaan demikian.” (H.R. Muslim)
Maka, anugrah yang besar ini (tauhid) akan senantiasa terpelihara dan disyukuri oleh orang-orang yang Allah pilih untuk menjadi mulia. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah- adalah salah satu dari hamba Allah yang Ia pilih untuk mensyukuri nikmat ini dengan gerakan pembaharuan beliau di Nejed dan jazirah Arab. Namun, perjalanan dakwah dan jihad tidak mudah. Ia harus ditempuh dengan kucuran keringat dan darah. Risalah yang kami hadirkan ini adalah terjemahan dari kitab “ Tarikhu Nejed min khilal kitab Ad-Durar assaniyyah fil Ajwibah An-Najdiyyah” karya Syaikh Sulaiman bin Shalih Al-Khurasy.
Beliau memaparkan sejarah Dinasti Saudi melalui rekaman risalah-risalah yang terdapat dalam kitab Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyyah.
Kitab tersebut adalah kumpulan risalah Imam-imam Nejed dan juga pemimpin (amir) Dinasti Sa'udi yang disusun oleh Imam Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim Al-‘Ashimy An-Najdy Al-Hanbaly. Berikut kami suguhkan terjemahan bagian pertama dari kitab Tarikhu Nejed yang berisi sejarah singkat Dinasti Sa’udi.
Bagian pertama
Sejarah Singkat Dinasti Saudi
Nejed adalah kehidupan yang terpisah dari bencana yang menimpa dunia Islam, ia tidak pernah menyaksikan pengaruh Utsmani secara langsung pada masa tersebut. Dan apa yang datang dari para Imam Masjid yang menyanjung-nyanjung Sulthan Utsmani dalam khuthbah, mungkin sebabnya adalah nurani baik kepada sang sulthan, atau mungkin karena implikasi pemberdayaan para imam itu untuk menyampaikan khuthbah, yang mana mereka orang yang menonjol di daerah yang tunduk langsung terhadap pemerintah Utsmani. Nejed tak menyaksikan adanya pengaruh yang kuat untuk merealisasikan kestabilan pilitik didalamnya dari aaspek luar.
Maka, meskipun pengaruh para diktator dari bani Khalid di sebagian aspeknya dan pengaruh dari Asyraf hijaz di aspek lainnya, perang antara wilayah terus berlangsung dan juga konflik antara suku (kabilah) yang beragam. Disamping itu, kondisi Nejed dari segi agama sebelum dakwahnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah- amat buruk dan membutuhkan seorang mujaddid yang mengembalikan –dengan karunia Allah- kebersihan tauhid dan kejernihan aqidah, dimana syirik dan bid’ah telah merebak di masyarakat, ditengah-tengah diamnya kebanyakan mereka yang memiliki ilmu syar’I, dan tidak adanya orang yang mengingkari hal yang dapat mengahapus keislaman mereka. Namun hanya diingkari dihati tanpa di-jahr-kan dengan dakwah.
Setelah beliau menuntut ilmu diluar negri Nejed dan melihat apa yang terjadi pada dunia Islam dari penyimpangan aqidah, maka Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah- (antara tahun 1133 -1139 H) dan sangat semangat untuk memulai mendakwahi kaum muslimin kepada Tauhid.
Beliau memulai dakwahnya di Huraimla’, maka terbagilah kelompok pada saat itu menjadi golongan penentang -dan pada saat itu mereka dominan- dan pendukung -mereka minoritas-. Pada periode ini beliau mengarang kitabnya yang monumental “Kitabut Tauhid alladzi huwa haqqullahi ‘alal abid”. Setelah ayah beliau wafat (tahun 1153 H), beliau pindah ke ‘Uyainah. Dan hijrah beliau ini disambut oleh gubernur ‘Uyainah yaitu Utsman bin Mu’ammar.
Maka beliau menjaharkan dakwah beliau ke daerah-daerah yang lebih luas. Dan fase ini masuk pada aplikasi dakwah yaitu mengingkari tempat-tempat ziarah (yang menjadi fenomena Ghuluw) dan menegakkan hukum pidana secara syar’i. Dengan ekspansi dakwah yang semakin meluas dan maju, maka ulama su’ dan pemimpin-pemimpin daerah yang tidak jauh dari ‘Uyainah yang kemudian seruan untuk memusuhi dakwah ini disambut oleh ulama su’ dan pemimpin-pemimpin yang berada diluar Nejed.
......Disamping itu, kondisi Nejed dari segi agama sebelum dakwahnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah- amat buruk dan membutuhkan seorang mujaddid yang mengembalikan –dengan karunia Allah- kebersihan tauhid dan kejernihan aqidah, dimana syirik dan bid’ah telah merebak di masyarakat, ditengah-tengah diamnya kebanyakan mereka yang memiliki ilmu syar’I, dan tidak adanya orang yang mengingkari hal yang dapat mengahapus keislaman mereka. Namun hanya diingkari dihati tanpa di-jahr-kan dengan dakwah........
Salah satu orang yang terpengaruh dan menyambut seruan itu adalah Sulaiman bin Muhammad Alu Humaid, pimpinan bani Khalid, hakim kota Ahsa’. Ia mengirim surat yang berisi ancaman dan permintaan kepada gubernur ‘Uyainah Utsman bin Mu’ammar untuk mendepak Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Maka Syaikh keluar dalam kondisi terpaksa menuju ke kota Dir’iyyah. Pemimpin kota ini adalah Amir Muhammad bin Sa’ud -rahimahullah-. Beliau lah yang menyambut kedatangan Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab dan bersedia dengan ikhlas mengikrarkan kesedian beliau untuk menolong dinullah.
Dinasti Saudi Periode Pertama
Dengan segala upaya kedua orang itu (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Imam Muhammad bin Sa’ud) memperluas daerah dakwah dengan mengirimkan para da’I ke berbagai kota Nejed dan lainnya serta menyngkirkan segela bentuk penghalang yang merintangi jalan dakwah. Setelah 40 tahun semenjak dimulainya program yang mulia yaitu menyuarakkan tauhid, maka embrio daulah islamiyyah sa’udiyyah berhasil menyatukan Negri Nejed berada dibawah panji tauhid, tunduk pada Syari’at Allah.
Ahsa menyusul masuk ke wilayah Sau’diyyah tahun 1208 H kemudian Hijaz tahun 1218 H. Daulah Utsmani senantiasa mengawasi wilayah-wilayahnya. Ketika ia menemukan kekuatan Dinasti Sa’udi dan ancamannya terhadap kepentingannya, maka Basya memerintahkan Baghdad agar bergerak untuk menyerang Dinasti Sa’udi. Maka untuk urusan ini ditunjuklah pemimpin Kabilah Al-Muntafiq, Tsuaini bin Abdullah, sebagai komandan. Tsuaini bergerak bersama pasukannya ke Ahsa. Namun pasukan itu gagal dan Tsuaini terbunuh ditangan Tho’is.
Akibatnya, pasukan kembali ke Iraq tahun 1212 H. Hakim (pemimpin) Baghdad, Sulaiman Basya, menyiapkan pasukan berikutnya dengan komando Ali Kekhea, maka mereka menyerang disebagian sudut kota Ahsa. Namun lagi-lagi gagal, dan kembali ke Iraq tahun 1214 H. Kemudian serangan balik dilakukan pada tahun 1216 H. Komandan Sa’ud bin Abdul Aziz (yang dijuluki Sa’ud Al-Kabir) -rahimahumallah- keberapa sudut kota Baghdad.
........kali ini Ibrahim Basya berhasil menorobos kota-kota Nejed hingga akhirnya mengepung ibukota Dinasti Sa’udi, Dir’iyyah, pada tahun 1233 H. kemudian Imam Abdullah menyerah serta berakhirlah Dinasti Sa’udi periode pertama.......
Karena serangan ini, maka berkorbarlah dendam dihati syi’ah yang menjadi korban pada serangan itu. Pada tahun 1218 H, salah seorang syi’ah membunuh Imam Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Sa’ud -rahimahumallah- sebagai bentuk balas dendam. Untuk peta politik selanjutnya, Daulah Utsmani menugaskan Wali Mesir (kalau dalam sistem republic presiden) Muhammad ‘Ali Basya untuk menyerang Dinasti Sa’udi.
Pada tahun 1226 H Basya menyiapkan pasukan dengan komando anaknya Thusun, yang menguasai Hijaz. Dalam perannya, Thusun mengajak beberapa pemimpin Kabilah untuk kerjasama dalam konspirasi ini. Pada tahun 1229 H Imam Sa’ud bin Abdul‘Aziz -rahimahumallah- wafat yang digantikan oleh anaknya Abdullah bin Sa’ud yang kemudian melakukan Shulh (perjanjian damai) dengan Thusun. Namun tidak berapa lama perjanjian itu dibatalkan.
Episode selanjutnya Muhammad Basya menyiapkan pasukan yang dipimpin oleh Ibrahim Basya untuk menyerang dinasti Sa’udi pada tahun 1231 H. kali ini Ibrahim Basya berhasil menorobos kota-kota Nejed hingga akhirnya mengepung ibukota Dinasti Sa’udi, Dir’iyyah, pada tahun 1233 H. kemudian Imam Abdullah menyerah serta berakhirlah Dinasti Sa’udi periode pertama.
Dinasti Sa’udi Periode Kedua
Setelah pasukan Ibrahim Basya mundur dari Nejed, terjadilah kegunjangan politik dan ketidakstabilan keamanan negara dengan banyaknya pertikaian. Maka Muhammad bin Misyari bin Mu’ammar menyuarakkan ajakan kepada orang-orang untuk membaiat dirinya pada tahun 1234 H. Saudara dari Abdullah bin Sa’ud, Misyari bin Sa’ud, melarikan diri dari para penjaganya ditengah masa pengusirannya. Ia bersama keluarganya kembali ke Nejed. Maka anaknya Mu’ammar menyerahkan kekuasaan kepadanya.
Namun Ibnu Mu’ammar kembali untuk mengambil kekuasaan. Setelah ia masuk Dir’iyyah ia menangkap Misyari kemudian menguasai Riyadh. Konflik ini terus berlangsung. Turki bin Abdullah bin Muhammad bin Sa’ud mengadakan pembalasan untuk Misyari dan melengserkan ibnu Mu’ammar dari rezimnya. Pada akhirnya turki berhasil merebut dan mengambil alih kekuasaan.
Hal ini tidak dibiarkan begitu saja. Rival lama Dinasti Sa’udi dari Mesir, Muhammad Ali Basya, kembali mengirimkan pasukan dibawah komando Husen Bek untuk melenyapkan Imam Turki. Turki melarikan diri ke selatan Nejed. Setelah sebagian besar pasukan Husen Bek ditarik dari dari Nejed, kondisi kembali tidak stabil. Pada tahun 1239 H Imam Turki kembali untuk mengambil kekuasaan setelah melakukan pertempuran dengan sisa pasukan yang belium kembali ke Mesir serta mengadakan perjanjian damai dengan pasukan tersebut.
Pada tahun 1241 H Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul wahhab -rahimahumullah- dating dari Mesir ke Riyadh dan menggantikan posisi kakek beliau (syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab). Dan pada tahun itu 1249 H Misyari bin Abdurrahman Alu Sa’ud membunuh Imam Turki bin Abdullah. Imam Faishal bin Turki yang berada di Ahsa menghimpun kekuatan untuk merebut kekuasaan dari Misyari. Muhammad ‘Ali Basya kembali menyiapkan pasukan dibawah komando Isma’il Bek dan menjadikan Khalib bin Sa’ud sebagai ajudannya (saudara dari Abdullah bin Sa’ud, pemimpin terakhir Dinasti Sa’udi Periode kedua).
Muhammad Ali Basya juga memberikan dukungan pasukan tambahan untuk mereka berdua dengan batalion dibawah pimpinan Khorsyad Basya. Kali ini Isma’il dan Khalid mampu menguasai Riyadh (1253 H).. Pada tahun itu pula Imam Faishal bin Turki -rahimahullah- menyerah dan dibawah ke Mesir.
Setelah pasukan Khorsyad Basya ditarik lagi kembali ke Mesir dan Khalid bin Sa’ud memimpin Riyadh, kemudian terjadilah kudeta yang dilakukan oleh Abdullah bin Tsaniyan Alu Sa’ud melawan Khalid. Pada Tahun 1259 H Imam Faishal bin Turki bebas dari pejara di Mesir. Ia tampil kembali untuk merebut dan menjadi pemimpin Riyadh. Ia menjadi penguasa Riyadh untuk kedua kalinya selama 23 tahun hingga ia wafat tahun 1282 H. Imam Faishal -rahimahullah- memiliki empat anak yaitu Abdullah, Sa’ud, Abdurrahman dan Faishal.
Setelah Wafat, Imam faishal digantikan oleh anaknya Abdullah yang kemudian diikuti dengan pembaiatan beliau. Setelah berjalan setahun memegang tampuk kekuasaan, ternyata saudaranya Sa’ud tidak terima, ia ingin menjadi penguasa. Meskipun Sa’ud sudah dinasehati oleh Ulama untuk tidak melukar bai’at, tapi ia tetap menolak dan melakukan kudeta terhadap saudaranya, Abdullah. Penjelasannya akan diterangkan dalam buku ini -insyaallah-.
Pada masa itu terbilang terjadi konflik intern atau fitnah yang hebat menerpa negri Nejed. Ketika Sa’ud mampu melengserkan saudaranya, maka ulama pada saat itu membaiat Sa’ud. Namun, Abdullah pergi mengusung kekuatan dengan meminta bantua kepada orang-orang Turki.
Bak gayung bersambut, hal ini merupakan kesempatan bagi bangsa Turki untuk mengembalikan kekuasaan mereka di Ahsa. Setelah Sa’ud bin Faishal wafat dan tampuk kekuasaan berpindah kepaada saudaranya Abdurrahman bin Faishal -rahimahullah-. Namun, pada tahun 1293 H beliau menyerahkan (tanazul) kekuasaanya kepada saudaranya Abdullah, setelah bermusyawarah dengan para ulama dalam hal ini.
Ditengah-tengah rezim Abdullah terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh keponakan-keponakannya sendiri dari anak saudaranya Sa’ud bin Faishal kemudian mereka memenjarakan paman mereka Abduillah. Kondisi ini dimanfa’atkan oleh Muhammad bin Abdullah bin Rasyid. Ia dating ke Riyadh kemudian menyapu menyingkirkan keponakan Abdullah dari kekuasaan. Ibnu Rasyid akhirnya mampu merebut Riyadh dan membunuh 3 diantara anak Sa’ud bin Faishal. Ibnu Rasyid juga membawa Abdullah bin Faishal dan saudaranya Abdurrahman ke Hail. Dan dengan begitu Dinasti Saudi periode kedua telah berakhir.
Dinasti Saudi Periode Ketiga
Sebelum deklarasi Dinasti periode ketiga, Imam Abdurrahman bin Faishal -rahimahullah- berusaha untuk mengembalikan kekuasaan ketangan keluarga Sa’ud, namun terus gagal. Maka ia bersama anaknya Abdul ‘Aziz hijrah ke Kuwait. Pada akhirnya, tahun 1319 H Raja Abdul ‘Aziz mampu mengembalikan ke pangkuan keluarga Sa’ud menjadi ibukota Dinasti Sa’udi periode ketiga.
Bagian Kedua
Pada episode kali ini dan beberapa episode berikutnya kami menukilkan risalah-rilasah atau surat-surat yang dikirim oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan keluarga beliau serta para Amir Dinasti Sa'udi dalam rangka mengajak mereka menolong Syari'at Allah, menegakkan tauhid dan memberantas syirik dan bid'ah di jazirah Arab. berikut terjemahan dari risalah Imam Abdul 'Aziz bin Muhammad bin Sa'ud dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahumallah- kepada Gubernur Mekkah, Syarif Ahmad.
[Risalah Syakim Muhammad bin Abdul Wahhab dan Imam Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Sa’ud -rahimahumullah- kepada Syarif Ahmad bin Sa’id Gubernur Mekkah]
Pada tahun 1184 H,: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Imam Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Sa’ud kepada wali Mekkah : Syaikh Abdul ‘Aziz Al-Hishin, beliau berdua menulis risalah yang isinya sebagai berikut:
بسم الله الرحمن الرحيم
Kepada anda, Semoga Allah melanggengkan nikmat yang utama padamu, Hadratusy Syarif Ahmad bin Syarif Sa’id, semoga Allah memuliakannya di dua kampung (dunia dan akhirat) dan memuliakan Agama datuknya, pemimpin dua alam, melaluinya. Sesungguhnya surat syarif ketika sampai pada sang pelayan (Amir Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Sa’ud) Dan meresapi isinya yang baik, beliau langsung mengangkat tangannya dengan berdo’a kepada Allah untuk menolong Syarif, ketika niatnya adalah menolong Syari’at Muhammad dan menolong orang-orang yang mengikutinya, memusuhi orang yang keluar darinya, dan inilah kewajiban atas pemegang urusan kaum muslimin (waliyyul amri). Dan adapun permintaan kalian dari kami yaitu penuntut ilmu (santri) kami telah melaksanakan, dan telah sampai kepada kalian. Serta duduk di malijnya Syarif -semoga Allah memuliakannya- dia dan para ulama Mekkah. Jika mereka sepakat: maka Alhamdulillah dan jika mereka berselisih, maka Syaikh akan menndatangkan kitab-kitabnya dan kitab-kitab para ulama Hanbali.
Yang wajib atas kalian dan kami adalah mengharapkan wajah Allah dalam ilmunya dan untuk menolong Rasulullah sebagaimana firman Allah Ta’ala: " Ketika Allah mengambil janji para Nabi atas ktiab yang diberikan kepada kalian dan hikmah kemudian datanglah Rasul yang membenmarkan apa yang bersama kalian (al-kitab) kamu beriman kepadanya dan menolongnya " (Alu ‘Imran:81)
Jika Allah telah mengambil janji para Nabi jika bertemu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar beriman kepadany dan menolongnya, maka bagaimanakah lagi dengan kita sebagai ummatnya? Maka jelaslah beriman kepadanya dan menolongnya, tidak boleh mencukupkan dengan salah satu darinya. Dan orang yang paling wajib dengan hal itu adalah keluarganya beliau sendiri, yang mana beliau diutus oleh Allah diantara mereka, dan memeliakan mereka dimuka bumi. Dan keluarganya yang paling wajib dengan itu adalah keturunannya shallallahu ‘alaihi wa sallam, wassalaam.
Demikianlah salah satu bukti dari keikhlasan para Masyayekh Nejed, du'atun ilat Tauhid. mereka tidak mengumbar kebencian kecuali setelah tampak kekafiran dan penentangan terhadap penegakkan syari'at. mereka berharap, terutama dari pemimpin jazirah arab, agar bersatu dibwah kalimat agung dan diatas manhaj Rasulillah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Wa Shallihumma 'ala Sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa shahbihi ajm'in , wa akhiru da'wana anil Hamdu  LIllahi Rabbil 'Alamin

Sabtu, 10 Desember 2011

ذهب جمهور الفقهاء (المالكية والشافعية ومتأخرو الحنفية وهو المذهب عند الحنابلة) إلى جواز التوسل سواء في حياة النبي أو بعد وفاته. (1)
و ساذلكر لكم اقوال (المالكية والشافعية ومتأخرو الحنفية وهو المذهب عند الحنابلة)و اقوال اللغوين و المفسرين و المؤرخين.......الخ
بعد هذه المقدمة

قال القسطلاني: وقد روي أن مالكا لما سأله أبو جعفر المنصور العباسي - ثاني خلفاء بني العباس - يا أبا عبد الله أأستقبل رسول الله وأدعو أم أستقبل القبلة وأدعو؟ فقال له مالك: ولم تصرف وجهك عنه وهو وسيلتك ووسيلة أبيك آدم عليه السلام إلى الله عز وجل يوم القيامة؟ بل استقبله واستشفع به فيشفعه الله.

وقد روى هذه القصة أبو الحسن علي بن فهر في كتابه (فضائل مالك) بإسناد لا بأس به، وأخرجها القاضي عياض في الشفاء من طريقه عن شيوخ عدة من ثقات مشايخه. (2)

وقال النووي في بيان آداب زيارة قبر النبي (ص): ثم يرجع الزائر إلى موقف قبالة وجه رسول الله (ص) فيتوسل به ويستشفع به إلى ربه، ومن أحسن ما يقول (الزائر) ما حكاه الماوردي والقاضي أبو الطيب وسائر أصحابنا عن العتبي مستحسنين له، قال: كنت جالسا عند قبر النبي (ص) فجاءه أعرابي فقال: السلام عليك يا رسول الله. سمعت الله تعالى يقول:

(ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيما).

النساء / 64، وقد جئتك مستغفرا من ذنبي، مستشفعا بك إلى ربي، ثم أنشأ يقول:

يا خير من دفنت بالقاع أعظمه * وطاب من طيبهن القاع والأكم
نفسي الفداء لقبر أنت ساكنه * فيه العفاف وفيه الجود والكرم

وقال العز بن عبد السلام: (ينبغي كون هذا مقصورا على النبي (ص) لأنه سيد ولد آدم، وأن لا يقسم على الله بغيره من الأنبياء والملائكة والأولياء لأنهم ليسوا في درجته، وأن يكون مما خص به تنبيها على علو رتبته).

وقال السبكي: (ويحسن التوسل والاستعانة والتشفع بالنبي إلى ربه).

وفي إعانة الطالبين: (وقد جئتك مستغفرا من ذنبي مستشفعا بك إلى ربي) (3) ما تقدم أقوال المالكية والشافعية.

وأما الحنابلة فقد قال ابن قدامة في المغني بعد أن نقل قصة العتبي مع الأعرابي:

(ويستحب لمن دخل المسجد أن يقدم رجله اليمنى...، إلى أن قال:

ثم تأتي القبر فتقول:... وقد أتيتك مستغفرا من ذنوبي مستشفعا بك إلى ربي...). ومثله في الشرح الكبير. (4)

وأما الحنفية فقد صرح متأخروهم أيضا بجواز التوسل بالنبي (ص)، قال الكمال بن الهمام في فتح القدير:

(ثم يقول في موقفه: السلام عليك يا رسول الله... ويسأل الله تعالى حاجته متوسلا إلى الله بحضرة نبيه عليه الصلاة والسلام).

وقال صاحب الاختيار فيما يقال عند زيارة النبي (ص): (جئناك من بلاد شاسعة... والاستشفاع بك إلى ربنا... ثم يقول: مستشفعين بنبيك إليك).

ومثله في مراقي الفلاح والطحاوي على الدر المختار والفتاوى الهندية.

ونص هؤلاء عند زيارة قبر النبي (ص): (اللهم... وقد جئناك سامعين قولك طائعين أمرك مستشفعين بنبيك إليك).

وقال الشوكاني: (ويتوسل إلى الله بأنبيائه والصالحين). (5)

وقد استدلوا لما ذهبوا إليه بما يأتي: (6)

أ - قوله تعالى: وابتغوا إليه الوسيلة. سورة المائدة / 35

ب - حديث الأعمى (7) المتقدم وفيه: (اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة...) فقد توجه الأعمى في دعائه بالنبي عليه الصلاة والسلام أي بذاته.

ج - قوله (ص) في الدعاء لفاطمة بنت أسد: إغفر لأمي فاطمة بنت أسد ووسع عليها مدخلها بحق نبيك والأنبياء الذين من قبلي فإنك أرحم الراحمين. (8)

د - توسل آدم بنبينا محمد عليهما الصلاة والسلام: روى البيهقي في دلائل النبوة، والحاكم وصححه عن عمر بن الخطاب قال: قال رسول الله (ص):

(لما اقترف آدم الخطيئة قال: يا رب أسألك بحق محمد لما غفرت لي. فقال الله تعالى: يا آدم كيف عرفت محمدا ولم أخلقه؟

قال: يا رب إنك لما خلقتني رفعت رأسي فرأيت على قوائم العرش مكتوبا (لا إله إلا الله، محمد رسول الله) فعلمت أنك لم تضف إلى اسمك إلا أحب خلقك إليك. فقال الله تعالى: صدقت يا آدم، إنه لأحب الخلق إلي، وإذ سألتني بحقه فقد غفرت لك، ولولا محمد ما خلقتك. (9)

هـ - حديث الرجل الذي كانت له حاجة عند عثمان بن عفان (رض):

روى الطبراني والبيهقي أن رجلا كان يختلف إلى عثمان بن عفان (رض) في زمن خلافته، فكان لا يلتفت ولا ينظر إليه في حاجته، فشكا ذلك لعثمان بن حنيف، فقال له: إئت الميضأة فتوضأ، ثم ائت المسجد فصل، ثم قل: اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة، يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي فيقضي لي حاجتي، وتذكر حاجتك. فانطلق الرجل فصنع ذلك، ثم أتى باب عثمان بن عفان (رض)، فجاء البواب فأخذ بيده، فأدخله على عثمان (رض) فأجلسه معه، وقال له: اذكر حاجتك، فذكر حاجته فقضاها له، ثم قال: ما لك من حاجة فاذكرها. ثم خرج من عنده فلقي ابن حنيف فقال له: جزاك الله خيرا ما كان ينظر لحاجتي حتى كلمته لي، فقال ابن حنيف:

والله ما كلمته، ولكن شهدت رسول الله (ص) وأتاه ضرير فشكا إليه ذهاب بصره (10) إلى آخر حديث الأعمى المتقدم.

قال المباركفوري: قال الشيخ عبد الغني في إنجاح الحاجة: ذكر شيخنا عابد السندي في رسالته: والحديث - حديث الأعمى - يدل على جواز التوسل والاستشفاع بذاته المكرم في حياته، وأما بعد مماته فقد روى الطبراني

في الكبير عن عثمان بن حنيف أن رجلا كان يختلف إلى عثمان... إلى آخر الحديث.

وقال الشوكاني في تحفة الذاكرين: (وفي الحديث دليل على جواز التوسل برسول الله (ص) إلى الله عز وجل مع اعتقاد أن الفاعل هو الله سبحانه وتعالى، وأنه المعطي والمانع ما شاء كان وما لم يشأ لم يكن). (11)

القول الثاني في التوسل بالنبي بعد وفاته: جاء في التاترخانية معزيا للمنقى:

روى أبو يوسف عن أبي حنيفة: لا ينبغي لأحد أن يدعو الله إلا به (أي بأسمائه وصفاته) والدعاء المأذون فيه المأمور به ما استفيد من قوله تعالى: ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها. سورة الأعراف / 180

وعن أبي يوسف أنه لا بأس به، وبه أخذ أبو الليث للأثر.

وفي الدر: (والأحوط الامتناع لكونه خبر واحد فيما يخالف القطعي، إذ المتشابه إنما يثبت بالقطعي). (12)

أما التوسل بمثل قول القائل: بحق رسلك وأنبيائك وأوليائك، أو بحق البيت فقد ذهب أبو حنيفة وأبو يوسف ومحمد إلى كراهته.

قال الحصكفي: (وإنما يخص برحمته من يشاء من غير وجوب عليه).

قال ابن عابدين: قد يقال: إنه لا حق لهم وجوبا على الله تعالى لكن لله سبحانه وتعالى جعل لهم حقا من فضله، أو يراد بالحق الحرمة والعظمة، فيكون من باب الوسيلة، وقد قال تعالى: وابتغوا إليه الوسيلة. سورة المائدة / 35 وقد عد من آداب الدعاء التوسل على ما في (الحصن)، وجاء في رواية:

(اللهم إني أسألك بحق السائلين عليك، وبحق ممشاي إليك، فإني لم أخرج أشرا ولا بطرا) (13) الحديث. ويحتمل أن يراد بحقهم علينا وجوب الإيمان بهم وتعظيمهم. وفي (اليعقوبية): (يحتمل أن يكون الحق مصدرا لا صفة مشبهة، فالمعنى بحقيقة رسلك، فليتأمل) ا ه. أي: المعنى بكونهم حقا لا بكونهم مستحقين.

أقول (أي ابن عابدين): لكن هذه احتمالات مخالفة لظاهر المتبادر من اللفظ، ومجرد إيهام اللفظ ما لا يجوز كاف في المنع... فلذا والله أعلم أطلق أئمتنا المنع، على أن إرادة هذه المعاني مع هذا الإيهام فيها الإقسام بغير الله تعالى وهو مانع آخر، تأمل. (14)

هذا ولم نعثر في كتب الحنفية على رأي لأبي حنيفة وصاحبيه في التوسل إلى الله تعالى بالنبي (ص) في غير كلمة (بحق) وذلك كالتوسل بقوله:

(بنبيك) أو (بجاه نبيك) أو غير ذلك إلا ما ورد عن أبي حنيفة في رواية أبي يوسف قوله: لا ينبغي لأحد أن يدعو الله إلا به.

القول الثالث في التوسل بالنبي بعد وفاته:

ذهب تقي الدين وبعض الحنابلة من المتأخرين إلى أن التوسل بذات النبي (ص) لا يجوز، وأما التوسل بغير الذات فقد قال ابن تيمية: ولفظ التوسل قد يراد به ثلاثة أمور، أمران متفق عليهما بين المسلمين:

أحدهما: هو أصل الإيمان والإسلام، وهو التوسل بالإيمان به (ص) وبطاعته.

والثاني: دعاؤه وشفاعته (ص) (أي في حال حياته) وهذا أيضا نافع يتوسل به من دعا له وشفع فيه باتفاق المسلمين.

ومن أنكر التوسل به بأحد هذين المعنيين فهو كافر مرتد يستتاب، فإن تاب وإلا قتل مرتدا.

ولكن التوسل بالإيمان به وبطاعته هو أصل الدين، وهذا معلوم بالاضطرار من دين الإسلام للخاصة والعامة، فمن أنكر هذا المعنى فكفره ظاهر للخاصة والعامة.

وأما دعاؤه وشفاعته وانتفاع المسلمين بذلك فمن أنكره فهو كافر أيضا، ولكن هذا أخفى من الأول، فمن أنكره عن جهل عرف ذلك، فإن أصر على إنكاره فهو مرتد.

أما دعاؤه وشفاعته في الدنيا فلم ينكره أحد من أهل القبلة، وأما الشفاعة يوم القيامة فمذهب أهل السنة والجماعة وهم الصحابة والتابعون لهم بإحسان وسائر أئمة المسلمين الأربعة وغيرهم أن له شفاعات خاصة وعامة.

والتوسل به في عرف كثير من المتأخرين يراد به الإقسام به والسؤال به، كما يقسمون بغيره من الأنبياء والصالحين ومن يعتقد فيه الصلاح.

وحينئذ فلفظ التوسل يراد به معنيان صحيحان باتفاق المسلمين، ويراد به معنى ثالث لم ترد به سنة.

ومن المعنى الجائز قول عمر بن الخطاب: (اللهم إنا كنا إذا أجدبنا توسلنا إليك بنبينا فتسقينا، وإنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا) أي بدعائه وشفاعته.

وقوله تعالى: وابتغوا إليه الوسيلة. سورة المائدة / 35. أي القربة بطاعته، وطاعة رسوله طاعته (15).

*** (هامش) ***

(1) شرح المواهب 8 / 304، والمجموع 8 / 274، والمدخل 1 / 248 وما بعدها، وابن عابدين 5 / 254، والفتاوى الهندية 1 / 266، 5 / 318، وفتح القدير 8 / 497 - 498، والفتوحات الربانية على الأذكار النووية 5 / 36.

(2) شرح المواهب 8 / 304 - 305، والمدخل 1 / 248، 252، ووفاء الوفاء 4 / 1371 وما بعدها، والفواكه الواني 2 / 466، وشرح أبي الحسن على رسالة القيرواني 2 / 478، والقوانين الفقهية 148.

(3) المجموع 8 / 274، وفيض القدير 2 / 134 - 135، وإعانة الطالبين 2 / 31، ومقدمة التجريد الصريح بتحقيق الدكتور مصطفى ديب البغاص.

(4) كشاف القناع 2 / 68، والمبدع 2 / 204، والفروع 2 / 159، والمغني مع الشرح 3 / 588 وما بعدها، والشرح الكبير مع المغني 3 / 494 - 495، والإنصاف 2 / 456.

(5) الاختيار 1 / 174 - 175، وفتح القدير 2 / 337 ومراقي الفلاح بحاشية الطحاوي ص 407، وحاشية الطحاوي على الدر المختار 1 / 562، والفتاوى الهندية 1 / 266، وتحفة الأحوذي 10 / 34، وتحفة الذاكرين للشوكاني (37).

(6) المراجع السابقة، المدخل 1 / 248 وما بعدها، وشرح المواهب 8 / 304، وجلاء العينين ص 433 وما بعدها، وقاعدة جليلة ص 65 وما بعدها، وحقيقة التوسل والوسيلة ص 38 وما بعدها لمؤلفه موسى محمد علي، والتوسل وأنواعه وأحكامه للألباني ص 51 وما بعدها.

(7) حديث الأعمى سبق تخريجه ف / 8. (وفي ص 154 الفرع 8 جاء ما يلي في الهامش: حديث عثمان بن حنيف: أن رجلا ضرير البصر أتى النبي (ص)... أخرجه الترمذي (5 / 569 - ط الحلبي)، وقال: حديث حسن صحيح).

(8) حديث دعاء النبي لفاطمة بنت أسد: أخرجه الطبراني في الكبير والأوسط كما في مجمع الزوائد للهيثمي (9 / 257 - ط القدسي)، وقال:

وفيه روح بن صلاح، وثقه ابن حبان والحاكم وفيه ضعف، وبقية رجاله رجال الصحيح.

(9) حديث (لما اقترف آدم الخطيئة...) أخرجه الحاكم (2 / 615 - ط دائرة المعارف العثمانية)، وعنه البيهقي في دلائل النبوة (5 / 489 - ط دار الكتب العلمية)، وقال البيهقي: (تفرد به عبد الرحمن بن زيد بن أسلم من هذا الوجه، وهو ضعيف)، وتعقب الذهبي تصحيح الحاكم في تلخيص المستدرك بقوله: (بل موضوع، وعبد الرحمن واه).

(10) حديث الرجل الذي كانت له حاجة عند عثمان بن عفان أخرجه الطبراني في معجمه الصغير (1 / 183 - ط المكتبة السلفية)، وقد تكلم الذهبي في ميزان الاعتدال (2 / 262 - ط الحلبي) في رواية شعيب بن سعيد بما يقتضي تضعيف زيادته في هذا الحديث.

(11) تحفة الأحوذي 10 / 34.

(12) ابن عابدين 5 / 254، والفتاوى الهندية 1 / 266، 5 / 318، وفتح القدير 8 / 497 - 498، وحاشية الطحاوي على الدر المختار 4 / 199.

(13) حديث: " اللهم إني أسألك بحق السائلين عليك... " سبق تخريجه ف / 7. (وجاء هناك ص 154 الهامش 2 ما يلي: حديث أبي سعيد الخدري: ما خرج رجل من بيته إلى الصلاة فقال: اللهم إني أسألك بحق السائلين عليك... أخرجه ابن ماجة (1 / 256 - ط الحلبي)، وابن السني في عمل اليوم والليلة (ص 24 - ط دائرة المعارف العثمانية)، وقال البوصيري في الزوائد: (هذا إسناده مسلسل بالضعفاء).

(14) نفس مصادر الهامش رقم (12).
(15) قاعدة جليلة ص 51.
--------------------------------------
الاجماع على التوسل بالنبي"اقوال المالكية"
المذهب المالكي:
1- القاضي عياض (ت:544 هـ) في كتابه الشهير الشفا.

2-القرافي المالكي (ت:682 هـ): ذكر قصة العتيبي وأقرها في الذخيرة (3/375-376).

3-شمس الدين أبو عبد اللّه محمد بن النعمان المالكي المتوفى (683 هـ)، في كتابه مصباح الظلام في المستغيثين بخير الأنام، قال الخالدي في صلح الإخوان : هو كتاب نفيس نحو عشرين كراسا، وينقل عنه كثيرا السيد نور الدين
السمهودي في وفاء الوفا , في الجزء الثاني في باب التوسل بالنبي الطاهر.

4-قال الشيخ ابن الحاج المالكي (ت:737 هـ) المعروف بإنكاره للبدع في كتابه المدخل (ج1/259-260) ما نصه: "(((فالتوسل به عليه الصلاة والسلام))) هو محل حطّ أحمال الأوزار وأثقال الذنوب والخطايا، لأن بركة شفاعته عليه الصلاة والسلام وعِظمها عند ربه لا يتعاظمها ذنب، إذ إنها أعظم من الجميع، فليستبشر من زاره ويلجأ إلى اللّه تعالى بشفاعة نبيه عليه الصلاة والسلام ومَن لم يزره، اللهم لا تحرمنا شفاعته بحرمته عندك آمين يا رب العالمين، ومن اعتقد خلاف هذا فهو المحروم".

وقال أيضا في المدخل(1/254): وصفة السلام على الأموات أن يقول:
فان كان الميت المزار ممن ترجى بركته، فيتوسل إلى اللّه تعالى به وكذلك يتوسل الزائر بمن يراه الميت ممن ترجى بركته إلى النبي (ص)، بل يبدأ بالتوسل إلى اللّه تعالى بالنبي (ص)،إذ هو العمدة في التوسل والأصل في هذا كله والمشرع له، فيتوسل به (ص) وبمن تبعه بإحسان إلى يوم الدين .

5-يقول ابن خلدون (ت:808 هـ)في تاريخه (6/43): (نسأله سبحانه وتعالى من فيض فضله العميم ونتوسل إليه بجاه نبيه الكريم أن يرزقنا إيمانا دائما وقلبا خاشعا وعلما نافعا ....).

6-أبو الطيب المكي الفاسي المالكي (ت:832 هـ) ذيل التقييد (1/69):"ونسأل الله أن يسعفه بمطلوبه بمحمد سيد المرسلين وأله وصحبة الصفوة الأكرمين".

7-أحمد زروق المالكي(ت:899 هـ): له رد على ابن تيمية في موضوع التوسل وهو مذكور في مقدمة شرحه على حزب البحر نقلا عن شواهد الحق ص 452.

8-إبراهيم اللقاني المالكي(صاحب جوهرة التوحيد)(ت:1041 هـ) قال:"ليس للشدائد مثل التوسل به صلى الله عليه وسلم" خلاصة الأثير للمحبي (1/8).

9-الإمام محمد الزرقاني المالكي (ت:1122 هـ)، قال في خاتمة شرحه للموطأ داعياً: "وأسألك من فضلك (((متوسلاً إليك بأشرف رسلك))) أن تجعله (أي شرحه للموطأ) خالصاً لوجهك".

وقال أيضا في شرح المواهب (8/317): ونحو هذا في منسك العلامة خليل، وزاد: وليتوسل به (ص)،ويسال اللّه
تعالى بجاهه في التوسل به، إذ هو محط جبال الأوزار وأثقال الذنوب، لان بركة شفاعته وعظمها عند ربه لا يتعاظمها ذنب، ومن اعتقد خلاف ذلك فهو المحروم الذي طمس اللّه بصيرته، واضل سريرته، ألم يسمع قوله تعالى: (ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاءوك فاستغفروا اللّه) الآية

10-أبو الحسن المالكي يقول:"بمحمد وآله وصحبه" كفاية الطالب (2/678).

11-ابن عاشر المالكي :يقول:"بجاه سيد الأنام" في كتاب المرشد المعين على الضروري من علوم الدين (2/300).

12-ابن ميارة المالكي :يقول:"نتوسل إليك بجاه أحب الخلق" في كتاب الدر الثمين والمورد المعين (2/302).

----------------------------
الاجماع على التوسل بالنبي"اقوال الشافعية "

المذهب الشافعي:
1- البيهقي (ت:458 هـ) روى عنه ابن الجوزي في المنتظم (11/211) من مناقب أحمد بن حرب "استجابة الدعاء إذا توسل الداعي بقبره".

2-الإمام الغزالي الشافعي رضى الله عنه (ت:505هـ) قال في إحياء العلوم، باب زيارة المدينة وآدابها، ج1، ص 360يقول الزائر، اللهم قصدنا نبيك مستشفعين به إليك في ذنوبنا وقال في آخره ونسألك بمنزلته عندك وحقه إليك.

3-ابن عساكر الشافعي (ت:571 هـ):كتب في أربعينياته "يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي" وذكر مناقب جعفر الصادق بقوله فيه "وبالنبي متوسلا" وذكر عن أحد الصالحين أن قبره "يتبرك به" تاريخ دمشق (6/443))

4-قال الإمام النووي(ت: 676 هـ) في المجموع (ج8/274) كتاب صفة الحج، باب زيارة قبر الرسول صلى اللّه عليه وسلم: "ثم يرجع إلى موقفه الأول قُبالة وجه رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلّم (((ويتوسل به))) في حق نفسه ويستشفع به إلى ربه".

واعتمد الإمام الحافظ النووي استحباب التوسل في مصنفاته ، كما في حاشية الإيضاح على المناسك له ص 450 و498 من طبعة أخرى وفي الأذكار ص 307 من طبعة دار الفكر ، في كتاب أذكار الحج ، وص 184 من طبعة المكتبة العلمية.

5-المحب الطبري الشافعي (ت:694 هـ):"بمحمد وآله وصحبه" ذخائر العقبى في مناقب ذوي القربى (1/261).

6-ابن الرفعة الشافعي (ت:716 هـ):له رد على ابن تيمية في هذا الموضوع وغيره.

7-عماد الدين بن العطار(ت:724 هـ) تلميذ النووي قال:"وأمرنا بسؤال الوسيلة والسؤال بجاهه" عن مواهب الجليل (2/544).

8-ابن الزملكاني الشافعي (ت:727 هـ):"يا صاحب الجاه" وقد ناظر ابن تيمية.

9-تقي الدين أبو الفتح السبكي (ت:744 هـ):من أقواله:
( وارغب إليه بالنبي المصطفى % في كشف ضرك عل يأسو ما انجرح )
( تالله ما يرجو نداه مخلص % لسؤاله إلا تهلل وانشرح )
( فهو النبي الهاشمي ومن له % جاه علا وعلو قدر قد رجح )
نقلا عن طبقات الشافعية الكبرى (9/181).

10-قال الفقيه علي السبكي (ت:756 هـ) في كتابه شفاء السقام ما نصه : " اعلم أنه يجوز ويحسن التوسل والاستعانة والتشفع بالنبي صلى الله عليه وسلم إلى ربه سبحانه وتعالى وجواز ذلك وحُسْنُه من الأمور المعلومة لكل ذي دين المعروفة من فعل الأنبياء والمرسلين وسير السلف الصالحين والعلماء والعوام من المسلمين ، ولم ينكر أحد ذلك من أهل الأديان ولا سمع به في زمن من الأزمان حتى جاء ابن تيمية فتكلم في ذلك بكلام يلبس فيه على الضعفاء الأغمار وابتدع ما لم يسبق إليه في سائر الأعصار ... " اهـ

11-عبد الله بن أسعد المازني الشافعي(ت:767 هـ) له كتاب مصباح الظلام في المستغيثين بخير الأنام.

12-العفيف اليافعي الشافعي (ت:768 هـ): "وبرسوله" مرآة الجنان (4/362).

13-ابن كثير (ت:774هـ ) في البداية والنهاية (13/192)في أحداث عام 654 وفيها ذكر النار التي خرجت من أرض الحجاز يقول: ?ذه النار في أرض ذات حجر لا شجر فيها ولا نبت، وهي تأكل بعضها بعضاً إن لم تجد ما تأكله، وهي تحرق الحجارة وتذيبها، حتى تعود كالطين المبلول، ثم يضربه الهواء حتى يعود كخبث الحديد الذي يخرج من الكير، فالله يجعلها عبرة للمسلمين ورحمة للعالمين، بمحمد وآله الطاهرين.

14-سعد الدين التفتازاني الشافعي (ت:791 هـ): "ولهذا ينتفع بزيارة القبور والاستعانة بمنفوس الأخيار من الأموات" شرح المقاصد (2/33).

15-ابن الملقن (ت:804 هـ) :"بمحمد وآله" خلاصة البدر المنير (1/5).

16-تقي الدين الحصني(ت:829 هـ) له كتاب (الرد على من شبه وتمرد..) رد فيه على مانعي التوسل.

17-شمس الدين الرملي (ت:894 هـ) الملقب بالشافعي الصغير، قال في مقدمة كتابه "غاية البيان في شرح زُبَد ابن رسلان" داعياً: "والله أسأل (((وبنبيه أتوسل))) أن يجعله (أي عمله في هذا الكتاب) خالصاً لوجهه الكريم".

18-الحافظ السخاوي(ت:902 هـ)، قال في خاتمة شرح ألفية العراقي في الحديث(4/410): "سيدنا محمد سيد الأنام كلهم (((ووسيلتنا))) وسندنا وذخرنا في الشدائد والنوازل صلى اللّه عليه وسلم".

19-ويقول السيوطي (ت:911 هـ) في تاريخ الخلفاء (1/452):

(وأسأل الله تعالى أن يقبضنا إلى رحمته قبل وقوع فتنة المائة التاسعة ! ! بجاه محمد صلى الله عليه وسلم وصحبه أجمعين آمين) وهذا بعد أن سرد فتنة كل قرن .

وفي الإتقان (2/502) له أيضا:"بمحمد وآله" .

وفي آخر كتابه الدرر المنتثرة قال: علقه مؤلفه عفا اللّه عنه في يوم السبت خامس رجب سنة ثمانين وثمانمائة أحسن اللّه عقباها بمحمد وآله آمين.

20-وللسمهودي الشافعي (ت:911 هـ) كتاب كامل اسمه (وفاء الوفا).

21-زكريا الأنصاري(ت:919 هـ) (الشهير بشيخ الإسلام): يقول في كتاب فتح الوهاب (1/257):"ويتوسل به في حق نفسه ويستشفع به إلى ربه".

22-قال القسطلاني(ت:923 هـ) في المواهب اللدنية (8/308): وينبغي للزائر له (ص) أن يكثر من الدعاء والتضرع والاستغاثة والتشفع والتوسل به (ص)، فجدير بمن استشفع به أن يشفعه اللّه فيه. قال: وإن الاستغاثة هي طلب الغوث فالمستغيث يطلب من المستغاث به إغاثته أن يحصل له الغوث، فلا فرق بين أن يعبر بلفظ الاستغاثة، أو التوسل، أو التشفع، أو التوجه أو التجوه لأنهما من الجاه والوجاهة، ومعناهما علو القدر والمنزلة وقد يتوسل بصاحب الجاه إلى من هو أعلى منه. قال: ثم إن كلا من الاستغاثة، والتوسل والتشفع، والتوجه بالنبي (ص) كما ذكره في تحقيق مصباح الظلام واقع في كل حال: النصرة قبل خلقه وبعد خلقه، في مدة حياته في الدنيا وبعد موته في البرزخ، وبعد البعث في عرصات القيامة.
ثم فصل ما وقع من التوسل والاستشفاع به (ص) في الحالات المذكورة.

23-الشيخ ابن حجر الهيتمي الشافعي(ت:973 هـ)، قال في خاتمة كتابه "تحفة الزوار إلى قبر المختار" داعياً: "ختم الله لنا ولمن رأى في هذا الكتاب بالسعادة والخير ورفعنا وإياهم في الجنة إلى المقام الأسنى (((بجاه سيد الأولين والآخرين)))".
وفي حاشيته على الإيضاح وكتابه الجوهر المنظم في زيارة القبر النبوي .

24-وقال الخطيب الشربيني(ت:977 هـ)في مغني المحتاج : 1 | 184 :
خاتمة : سئل الشيخ عز الدين هل يكره أن يسأل الله بعظيم من خلقه كالنبي والملك والولي ؟ فأجاب بأنه جاء عن النبي ( ص ) أنه علم بعض الناس : اللهم إني أقسم عليك بنبيك محمد نبي الرحمة..الخ. فإن صح فينبغي أن يكون مقصوراً عليه عليه الصلاة والسلام ، لأنه سيد ولد آدم ، ولا يقسم على الله بغيره من الأنبياء والملائكة ، لأنهم ليسوا في درجته ، ويكون هذا من خواصه. اهـ. والمشهور أنه لا يكره شيء من ذلك.

,ويقول في آخره:
وهذا آخر ما يسره الله تعالى من مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج فدونك مولفا كأنه سبيكة عسجد أو در منضد محررا لدلائل هذا الفن مظهرا لدقائق استعملنا الفكر فيها إذا الليل جن فإن ظفرت بفائدة فادع بالتجاوز والمغفرة أو بزلة قلم أو لسان فافتح لها باب التجاوز والمعذرة فلا بد من عيب فإن تجدنه فسامح وكن بالستر أعظم مفضل فمن ذا الذي ما ساء قط ومن له ال محاسن قد تمت سوى خير مرسل فأسأل الله الكريم الذي به الضر والنفع ومنه الإعطاء والمنع أن يجعله لوجهه خالصا وأن يتداركني بألطافه إذا الظل أضحى في القيامة خالصا وأن يخفف عني كل تعب ومؤنة وأن يمدني بحسن المعونة وأن يرحم ضعفي كما علمه وأن يحشرني في زمرة من رحمه أنا ووالدي وأولادي وأقاربي ومشايخي وأحبابي وأحباني وجميع المسلمين بمحمد وآله وصحابته أجمعين.

25-وأضاف الشرواني (ت:1310)في حواشيه : 2 |108 :
وفي ع ش بعد ذكر كلام الشيخ عز الدين ما نصه : فإن قلت : هذا قد يعارض ما في البهجة وشرحها لشيخ الإسلام ، والأفضل استسقاؤهم بالأتقياء لأن دعاءهم أرجى للإجابة. الخ.
قلت : لا تعارض لجواز أن ما ذكره العز مفروض فيما لو سأل بذلك على صورة الأزلام ، كما يؤخذ من قوله : اللهم إني أقسم عليك.. الخ.
وما في البهجة وشرحها محصور بما إذا ورد على صورة الإستشفاع والسؤال ، مثل أسألك ببركة فلان ، أو بحرمته أو نحو ذلك. انتهى.
,ويقول أيضا : "بجاه محمد سيد الأنام" حواشي الشرواني (6/381).

26-المحدث إسماعيل بن محمد العجلوني الجراحي الشافعي (ت:1162 هـ) ، قال في كتابه "كشف الخفاء ومزيل الإلباس" (ج2/419) داعياً: "وَضعَ الله عنا سيئات أعمالنا بإفضاله الجاري، وختمها بالصالحات (((بجاه محمد صلى الله عليه وسلم))) سيد السادات".
ومما جاء في كشف الخفاء للعجلوني:
ومما يناسب إيراده هنا ما نسب لبعضهم
قرب الرحيل إلى ديار الآخرة فاجعل إلهي خير عمري آخره
فلئن رحمت فأنت أكرم راحم وبحار جودك يا إلهي زاخرة
آنس مبيتي في القبور ووحدتي وارحم عظامي حين تبقى ناخرة
فأنا المسيكين الذي أيامه ولت بأوزار غدت متواترة
يا رب فارحمني بجاه المصطفى كنز الوجود وذي الهبات الباهرة
وبخير خلقك لم أزل متوسلا ذي المعجزات وذي الهبات الفاخرة

27-العزامي الشافعي القضاعي: في فرقان القرآن المطبوع مع الأسماء والصفات للبيهقي في (140)صحيفة.

28-السيد البكري الدمياطي (ت:1310 هـ): "بجاه سيدنا محمد" إعانة الطالبين (4/344).
-جاء في إعانة الطالبين في ذاكرة القصد من الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم :
) بل يقصد أنه مفتقر له عليه الصلاة والسلام وأنه يتوسل به إلى ربه في نيل مطلوبه لأنه الواسطة العظمى في إيصال النعم إلينا ) 1/171

29-البجيرمي:"مع أنه أعظم وسيلة حيا وميتا" حاشية البجيرمي.

30-وقال العز بن عبد السلام: (ينبغي كون هذا مقصورا على النبي (صلى الله عليه و سلم) لأنه سيد ولد آدم، وأن لا يقسم على الله بغيره من الأنبياء والملائكة والأولياء لأنهم ليسوا في درجته، وأن يكون مما خص به تنبيها على علو رتبته).

31-عبد الرءوف المناوي في كثير من المواضع.

--------------------------------------
الاجماع على التوسل بالنبي"اقوال الاحناف"

أولا:المذهب الحنفي:
1- وقال مجد الدين الموصلي الحنفي (ت:683 هـ) صاحب الاختيار فيما يقال عند زيارة النبي صلى الله عليه وسلم (جئناك من بلاد شاسعة . . . والاستشفاع بك إلى ربنا) ثم يقول : مستشفعين بنبيك إليك .
ومثله في الطحاوي على الدر المختار.

2-ابن أبي الوفاء القرشي الحنفي(ت:775 هـ): يتوسل "بجاه رسول الله" طبقات الحنفية (1/353).

3- الإمام كمال الدين بن الهمام الحنفي رضى الله عنه (ت:861هـ) فتح القدير، ج2، ص332، كتاب الحج، باب زيارة النبي صلى الله عليه وسلم:
ويسأل الله حاجته متوسلا إلى الله بحضرة نبيه ثم قال يسأل النبي صلى الله عليه وسلم الشفاعة فيقول يا رسول الله أسألك الشفاعة يا رسول الله أتوسل بك إلى الله.

4- وزاد الشيخ علي القاري المكي الحنفي (ت:1014هـ) في شرح الشمائل: "فليس لنا شفيع غيرك نؤمله، ولا رجاء غير بابك نصله،فاستغفر لنا واشفع لنا إلى ربك يا شفيع المذنبين، واسأله أن يجعلنا من عباده الصالحين".

5-ذكر الشرنبلالي الحنفي (ت:1069 هـ) في مراقي الفلاح في آداب الزيارة:
يقف عند رأسه الشريف ويقول:
اللهم انك قلت وقولك الحق: (ولو انهم إذ ظلموا أنفسهم جاءوك فاستغفروا اللّه واستغفر لهم الرسول لوجدوا اللّه توابا رحيما) وقد جئناك سامعين قولك، طائعين أمرك، مستشفعين بنبيك، ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان، ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا، ربنا انك رؤوف رحيم، ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار، سبحان ربنا رب العزة عما يصفون،وسلام على المرسلين، والحمد للّه رب العالمين.
ويدعو بما يحضره من الدعاء.

وفي مراقي الفلاح أيضا:
روى سعيد بن منصور وسمرة بن حبيب وحكم بن عمير قالوا : إذا سوي على الميت قبره وانصرف الناس كانوا يستحبون أن يقال للميت عند قبره يا فلان قل لا إله إلا الله ثلاث مرات يا فلان قل ربي الله وديني الإسلام ونبيي محمد صلى الله عليه وسلم اللهم إني أتوسل إليك بحبيبك المصطفى أن ترحم فاقتي بالموت على الإسلام والإيمان وأن تشفع فينا نبيك عليه أفضل الصلاة والسلام .

6- خاتمة اللغويين الحافظ مرتضى الزبيدي الحنفي (ت:1089هـ)، قال في خاتمة "تاج العروس" داعياً: "ولا يكلنا إلى أنفسنا فيما نعمله وننويه (((بمحمد وآله))) الكرام البررة".

7- أبو الحسنات اللكنوي (ت:1264هـ): "متوسلا بنبيه" الرفع والتكميل ?27.

8-العلامة الفقيه عبد الغني الغنيمي الحنفي(ت:1298هـ)صاحب "اللباب في شرح الكتاب"، قال في خاتمة كتابه "شرح العقيدة الطحاوية" داعياً: "وصلِّ وسلم على سيدنا محمد فإنه (((أقرب من يُتَوسل به إليك)))".

9-خاتمة المحققين الشيخ ابن عابدين الحنفي، قال في مقدمة حاشيته على الدر المختار داعياً: "وإني أسأله تعالى (((متوسلاً إليه بنبيه المكرم))) صلى الله عليه وسلم".

10-الشيخ محمد علاء الدين ابن الشيخ ابن عابدين، قال في خاتمة تكملة حاشية والده داعياً: "كان الله له ولوالديه، وغفر له ولأولاده ولمشايخه ولمن له حق عليه (((بجاه سيد الأنبياء والمرسلين)))".

11-وقال العدوي الحمزاوي في كنز المطالب (ص216):
ومن أحسن ما يقول بعد تجديد التوبة في ذلك الموقف الشريف، وتلاوة(ولو انهم إذ ظلموا أنفسهم جاءوك فاستغفروا اللّه واستغفر لهم الرسول) الآية: نحن وفدك يا رسول اللّه وزوارك، جئناك لقضاء حقك وللتبرك بزيارتك والاستشفاع بك مما اثقل ظهورنا واظلم قلوبنا.

ويقول (ص230): ويتوسل بهم إلى اللّه في بلوغ آماله، لان هذا المكان محل مهبط الرحمات الربانية، وقد قال خير البرية عليه الصلاة وأزكى التحية: إن لربكم في دهركم نفحات، ألا فتعرضوا لنفحات ربكم. ولا شك ولا ريب أن هذا المكان محل هبوط الرحمات الإلهية، فينبغي للزائر أن يتعرض لهاتيك النفحات الاحسانية، كيف لا ؟ وهم الأحبة والوسيلة العظمى إلى اللّه ورسوله، فجدير لمن توسل بهم أن يبلغ المنى وينال بهم الدرجات العلى، فانهم الكرام لا
يخيب قاصدهم وهم الأحياء، ولا يرد من غير إكرام زائرهم.

12-أبو منصور الكرماني الحنفي: في آداب زيارة قبر النبي-صلى الله عليه وسلم-: "ويقول إن فلان وفلان يستشفع بك يا رسول الله".

13- في كتاب الفتاوى الهندية (ج1/266) كتاب المناسك: باب: خاتمة في زيارة قبر النبي صلى اللّه عليه وسلم، بعد أن ذكر كيفية وآداب زيارة قبر الرسول صلى اللّه عليه وسلم، ذكر الأدعية التي يقولها الزائر فقال: "ثم يقف (أي الزائر) عند رأسه صلى اللّه عليه وسلم كالأوّل ويقول: اللهم إنك قلت وقولك الحق: "وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُوا أَنفُسَهُمْ جَاءُوكَ .." الآية، وقد جئناك سامعين قولك طائعين أمرك، (((مستشفعين بنبيك إليك))).

14-أبو إسحاق الخجندي الكازروني: كان من شعره:
خافت النار إلاها فانتحت تتشفع لائذة بالرسول.
التحفة اللطيفة (1/83).

15-وقال خليل أحمد سهارنبوري (المتوفي 1349 هـ) في كتابه المهند على المفند(ص 86-87) وهو من كبار علماء أحناف ديوبند بالهند، في جواب هذا السؤال: هل للرجل أن يتوسل في دعوته بالنبي والصالحين والصديقين والشهداء والأولياء؟
"عندنا وعند مشايخنا يجوز التوسل بهم في حياتهم وبعد وفاتهم بأن يقول: "اللّهم إني أتوسل إليك بفلان أن تجيب دعوتي وتقضي حاجتي". كما صرح به الشاه محمد إسحاق الدهلوي والمهاجر المكي ورشيد أحمد الكنكومي.انتهى.
وأيد ووافق على هذا الكتاب حوالي 75 نفراً من علماء الأحناف الكبار في باكستان.

------------------------------------------------------
الاجماع على التوسل بالنبي"اقوال الحنابلة"

المذهب الحنبلي:
1- قال برهان الدين بن مفلح(ت:803 هـ) في المبدع ( 2 / 204) : ـ " قال أحمد في منسكه الذي كتبه للمروذي : إنه يتوسل بالنبي ـ صلى الله عليه وآله وسلم ـ في دعائه , وجزم بـه في المستوعب وغـيره " .
وقريب منه ما في الإقناع للعلامة الحجاوي ( 1 / 208 ) والفروع لشمس الدين ابن مفلح(ت:763 هـ) ( 2 / 159 ) .

2-الإنصاف للمرداوي (ت:885 هـ) (ج2/456)في كتاب صلاة الاستسقاء: "ومنها (أي من الفوائد) يجوز التوسل بالرجل الصالح على الصحيح من المذهب، وقيل: يُستحب، قال الإمام أحمد للمروذي: (((يَتَوسل بالنبي صلى اللّه عليه وسلم))) في دعائه، وجزم به في المستوعب وغيره".

3-قال الإمام علي بن عقيل الذي هو أحد أركان الحنابلة المتوفى 503 هـ في كتابه التذكرة وهو مخطوط في ظاهرية دمشق :
ويستحب له قدوم مدينة الرسول صلوات الله وسلامه عليه فيأتي مسجده فيقول عند دخوله : بسم الله اللهم صل على محمد وآل محمد وافتح لي أبواب رحمتك .. اللهم أني أتوجه إليك بنبيك صلى الله عليه وسلم بنبي الرحمـة يا رسول الله إني أتوجه بك إلى ربي ليغفر لي ذنوبي ، اللهم إني أسألك بحقه أن تغفر لي ذنوبي .

4-الحافظ ابن الجوزي المتوفى (597 هـ)، في كتاب الوفا في فضائل المصطفى، جعل فيه بابين في المقام: باب التوسل
بالنبي، وباب الاستشفاء بقبره.
ويقول ابن الجوزي:"بحق النبي" زاد المسير (4/253).

5-وقال أبو عبد الله محمد بن الحسين السامري الحنبلي (ت:616 هـ) في المستوعب " باب زيارة قبر النبي (ص) " وذكر آداب الزيارة، وقال: ثم يأتي حائط القبر فيقف ناحيته ويجعل القبر تلقاء وجهه، والقبلة خلف ظهره، والمنبر عن يساره، وذكر كيفية السلام والدعاء.
منه: اللهم إنك قلت في كتابك لنبيك مستغفرا، فأسألك أن توجب لي المغفرة كم أوجبتها لمن أتاه في حياته، اللهم إني أتوجه إليك بنبيك (ص) وذكر دعاءا طويلا.

, ذكر من آداب الزيارة "يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي" شفاء الأسقام.

6-قال ابن قدامه (ت:620 هـ)في المغني بعد أن نقل قصة العتبى مع الأعرابي : (ويستحب لمن دخل المسجد أن يقدم رجله اليمنى . . إلى أن قال : ثم تأتي القبر فتقول . . وقد أتيتك مستغفرا من ذنبي مستشفعاً بك إلى ربي . . ) ومثله في الشرح الكبير.

7-وهناك بديعية للشيخ عز الدين الموصلي علي بن الحسين بن علي الحنبلي نزيل دمشق المتوفى سنة 789 هـ ثم شرحها وسماه التوصل بالبديع إلى التوسل بالشفيع.

8-في كتاب كشاف القناع لمنصور بن يونس البيهوتي الحنبلي المتوفى سنه 1051هـ الجزء الثاني :
وقال السامري وصاحب التلخيص : لا بأس بالتوسل للاستقاء بالشيوخ والعلماء المتقين . وقال في المذهب : يجوز أن يستشفع إلى الله برجل صالح وقيل للمروذي : إنه يتوسل بالنبي في دعائه وجزم به في المستوعب وغيره ، ثم قال : قال إبراهيم الحربي : الدعاء عند قبر معروف الكرخي الترياق المجرب .

9-ابن عماد الحنبلي (1089 هـ): في ترجمة السيد أحمد البخاري "وقبره يزار ويتبرك به" شذرات الذهب (10/152) وجمل كثيرة غيرها.

10-عبد القادر الجيلاني :"يا رسول الله إني أتوجه بك إلى ربي ليغفر لي" مروية في شواهد الحق للنبهاني ص98.

------------------------------------------------------
الاجماع على التوسل بالنبي"اقوال المفسرون"
المفسرون:
1-الثعالبي:"بجاه عين الرحمة" (4/458).

2-القرطبي:"بحق محمد وآله" (8/240).

3-الألوسي "بحرمة سيد الثقلين" روح المعاني (1/82).
ويقول تحت قول الله تعالى (وابتغوا إليه الوسيلة) أن التوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم جائز بل مندوب. وأيضا فقال ويحسن التوسل والاستغاثة بالنبي صلى الله عليه وسلم إلى ربه ولم ينكر ذلك أحد من السلف والخلف .

4-الرازي: قال الرازي في تفسيره : " إن الأرواح البشرية الخالية من العلائق الجسمانية المشتاقة إلى الإتصال بالعالم العلوي بعد خروجها من ظلمة الأجساد تذهب إلى عالم الملائكة ومنازل القدس, ويظهر منها آثار في أحوال هذا العالم ، فهي المدبرات أمرا أليس الإنسان قد يرى أستاذه في المنام ويسأله عن مسألة فيرشده إليها .
وقال الرازي في " المطالب العالية " وهو من أمتع كتبه في أصول الدين : في الفصل العاشر من المقالة الثالثة من الكتاب السابع منه : إن الإنسان قد يرى أباه وأمه في المنام ويسألهما عن أشياء وهما يذكران أجوبة صحيحة ، وربما أرشداه إلى دفين في موضع لا يعلمه أحد ، ثم قال أنا كنت صبياً في أول التعلم ، وكنت أقرأ " حوادث لا أول لها " فرأيت في المنام أبي فقال لي : أجود الدلائل أن يقال الحركة إنتقال من حالة إلى حالة فهي تقتضي بحسب ماهيتها مسبوقيتها بالغير ، والأزل ينافي مسبوقاً بالغير ، فوجب أن يكون الجمع بينهما محالاً ثم قال المنصف والظاهر أن هذا الوجه أحسن من كل ما قيل في هذه المسألة.
وأيضاً سمعت أن الفردوسي الشاعر لمّاصنف كتابة المسمى " بشاهنامه " على اسم السلطان محمود بن سبكتكين ولم يقض حقه كما يجب ، وما راعاه كما يليق بذلك الكتاب ، ضاق قلب الفردوسي ، فرأي في المنام " رستم " فقال له : قد مدحتني في هذا الكتاب ، كثيراً وأنا في زمرة الأموات فلا أقدر على قضاء حقك ، ولكن إذهب إلى الموضع الفلاني واحفره فإنك تجد فيه دفيناً فخذه. فكان الفردوسي يقول : أن رستم بعد موته أكثر كرماً من محمود حال حياته .
وقال أيضاً في الفصل الثامن عشر من تلك المقالة – والفصل الثامن عشر في بيان كيفية الإنتفاع بزيارة الموتى والقبور - : " ثم قال سألني بعض أكابر الملوك عن المسألة ، وهو الملك محمد بن سالم بن الحسين الغوري – وكان رجلاً حسن السيرة مرضي الطريقة ، شديد الميل إلى العلماء ، قوي الرغبة في مجالسة أهل الدين والعقل – فكتبت فيها رسالة وأنا أذكر هنا ملخص ذلك فأقول للكلام فيه مقدمات . المقدمة الأولى : أنّا قد دللنا على أن النفوس البشرية باقية بعد موت الأبدان ، وتلك النفوس التي فارقت أبدانها أقوى من هذه النفوس المتعلقة بالأبدان من بعض الوجوه . أما أن النفوس المفارقة أقوى من هذه النفوس من بعض الوجوه ، فهو أن تلك النفوس لما فارقت أبدانها فقد زال الغطاء ، وانكشف لها عالم الغيب ، وأسرار منازل الأخرة ، وصارت العلوم التي كانت برهانية عند التعلق بالأبدان ضرورية بعد مفارقة الأبدان ، لأن النفوس في الأبدان كانت في عناء وغطاء ، ولمّا زال البدن أشرفت تلك النفوس وتجلت وتلألأت ، فحصل للنفوس المفارقة عن الأبدان بهذا الطريق نوع من الكمال . وأما أن النفوس المتعلقة بالأبدان أقوى من تلك النفوس المفارقة من وجه أخر فلأن آلات الكسب والطلب باقية لهذه النفوس بواسطة الأفكار المتلاحقة ، والأنظار المتتالية تستفيد كل يوم علماً جديداً ، وهذه الحالة غير حاصلة للنفوس المفارقة .
والمقدمة الثانية أن تعلق النفوس بأبدانها تعلق يشبه العشق الشديد ، والحب التام ، ، ولهذا السبب كان كل شيء تطلب تحصيله في الدنيا فإنما تطلبه لتتوصل به إلى إيصال الخير والراحة إلى هذا البدن . فإذا مات الإنسان وفارقت النفس هذا البدن ، فذلك الميل يبقى ، وذلك العشق لا يزول وتبقى تلك النفوس عظيمة الميل إلى ذلك البدن,عظيمة الإنجذاب ، على هذا المذهب الذي نصرناه من أن النفوس الناطقة مدركة للجزئيات ، وأنها تبقى موصوفة بهذا الإدراك بعد موتها ، إذا عرفت هذه المقدمات فنقول : إن الإنسان إذا ذهب إلى قبر إنسان قوي النفس ، كامل الجوهر شديد التأثير ، ووقف هناك ساعة ، وتأثرت نفسه من تلك التربة – وقد عرفت أن لنفس ذلك الميت تعلقاً بتلك التربة أيضاً- فحينئذ يحصل لهذا الزائر الحي ، ولنفس ذلك الميت ملاقاة بسبب إجتماعهما على تلك التربة ، فصارت هاتان النفسان شبيهتين بمرآتين صقيلتين وضعتا بحيث ينعكس الشعاع من كل واحدة منهما إلى أخرى .
فكل ما حصل في نفس هذا الزائر الحي من المعارف البرهانية ،والعلوم الكسبية ، والأخلاق الفاضلة من الخضوع له ، والرضا بقضاء الله ينعكس منه نور إلى روح ذلك الميت ، وكل ما حصل ذلك الإنسان الميت من العلوم المشرقة الكاملة فإنه ينعكس منه نور إلى روح هذا الزائر الحي. وبهذا الطريق تكون تلك الزيارة سبباً لحصول المنفعة الكبرى ، والبهجة العظمى لروح الزائر ، ولروح المزور ، وهذا هو السبب الأصلى في شرع الزيارة ، ولا يبعد أن تحصل فيها أسرار أخرى أدق وأغمض مما ذكرنا . وتمام العلم بحقائق الأشياء ليس إلا عند الله اهـ .

------------------------------------------------------
الاجماع على التوسل بالنبي"اقوال اللغويون"

اللغويون:
1-ابن منظور في لسان العرب (11/78):" ?ِنا نرغب إِلى الله عز وجل ونتضرع إِليه في نصرة ملته وإِعْزاز أُمَّته وإِظهار شريعته، وأَن يُبْقِي لهم هِبَة تأْويل هذا المنام، وأَن يعيد عليهم بقوّته ما عدا عليه الكفَّار للإِسلام بمحمد وآله -عليهم الصلاة والسلام-".

2-الهوريني "بجاه النبي" اصطلاحات القاموس على كتاب ترتيب القاموس المحيط.

3-الأصفهاني "نسألك بحق الله وبحق رسوله" الأغاني (10/375).

4-الأبشيهي:"سألتك بحق محمد" المستطرف (2/508) وله قصيدة طويلة(1/491-492) فيها التوسل الكثير.

5-ابن حجة الحموي :"بمحمد وآله" خزانة الأدب (1/277).

6-القلقشندي :"بمحمد وآله" صبح الأعشى (11/302).

7-النابغة الجعدي روى عنه ابن عبد البر شعرا فيه توسل.

8-المقري التلمساني :"بجاه نبينا" نفح الطيب (1/32).

9-البوصيري شرف الدين في البردة.

10-الصرصري له أبيات مذكورة في كتاب شواهد الحق للنبهاني ص 360.

------------------------------------------------------
الاجماع على التوسل بالنبي"اقوال المؤرخون"
المؤرخون:
1-ابن خلكان:"بمحمد النبي وصحبه وذويه" وفيات الأعيان (6/132).

2-ابن الأثير :"بمحمد وآله" الكامل (1/433).

3-طاشكبري زاده "بحرمة نبيك" الشقائق النعمانية (1/233).

4-ياقوت الحموي :"وبحق محمد وآله" معجم البلدان (5/87).

5-ابن تغربردي :"بمحمد وآله" النجوم الزاهرة (11/103)

6-العيدروسي :"إني أتوسل بالمصطفى" النور السافر (1/15).

7-ابن العديم "ببركة سيد المرسلين وأهل بيته" بغية الطلب في تاريخ حلب (7/3242).

8-البصروي"بمحمد وصحبه" تاريخ البصروي (1/157).

9-ابن جبير "بحرمة الكريم وبلد الكريم" رحلة ابن جبير (1/98).

10-ناصر خسرو :"بحق محمد وآله الطاهرين" سفر نامه (1/60).

11-نظام الملك الطوسي :"بحق محمد وآله" سيات نامه (1/44).

12-البريهي:"بمحمد وآله آمين" طبقات صلحاء اليمن (1/248).

13-الجبرتي:"ويتوسل إليه في ذلك بمحمد صلى الله عليه وسلم" عجائب الآثار (1/344).

14-الواقدي:"فادع الله وأتوسل إليه بمحمد" فتوح الشام (2/91).

15-أبو العباس الناصري:"بجاه جده الرسول" الإستقصا لأخبار دول المغرب الأقصى (3/29).

16-عبد الرحمن بن خلدون في شعره :"فبفضل جاهك".

17-الصالحي الشامي جمع أبواب التوسل بالنبي في كتابه سبل الهدى والرشاد في سير خير العباد.

18-حاجي خليفة :"بحرمة أمين وحيه" كشف الظنون (2/2056).

19-المرادي:"فنتوجه اللهم إليك به صلى الله عليه وسلم إذ هو الوسيلة العظمى" سلك الدرر في أعيان القرن الثاني عشر (1/2).

----
الاجماع على التوسل بالنبي"متفرقات"

متفرقات:

1-العالم العلامة الفيومي، قال في خاتمة كتابه "المصباح المنير" داعياً: "ونسأل الله حسن العاقبة في الدنيا والآخرة وأن ينفع به طالبه والناظر فيه وأن يعاملنا بما هو أهله (((بمحمد وآله))) الأطهار وأصحابه الأبرار".

2-وللعلامة محمد بن علي الشوكاني كلمة في جواز التوسل بالأنبياء وغيرهم من الصالحين رد فيها على من منعه وفند إيراداته ، فقال رحمه الله في كتابه ( الدر النضيد في إخلاص كلمة التوحيد ) ما نصه : أما التوسل الى الله سبحانه وتعالى بأحد من خلقه في مطلب يطلبه العبد من ربه ، فقد قال الشيخ عز الدين بن عبد السلام إنه لا يجوز التوسل الى الله تعالى إلا بالنبي صلى الله عليه وسلم إن صح الحديث فيه. ولعله يشير الى الحديث الذي أخرجه النسائي في سننه ، والترمذي وصححه ، وابن ماجة ، وغيرهم ، أن أعمى أتى النبي... وعندي أنه لا وجه لتخصيص جواز التوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم كما زعمه الشيخ عز الدين بن عبد السلام لأمرين : الإول ، ما عرفناك به من إجماع الصحابة رضي الله تعالى عنهم. والثاني ، أن التوسل الى الله بأهل الفضل والعلم هو في التحقيق توسل بأعمالهم الصالحة ومزاياهم الفاضلة ، إذ لا يكون فاضلاً إلا بأعماله ، فإذا قال القائل : اللهم إني أتوسل اليك بالعالم الفلاني فهو باعتبار ما قام به (412) من العلم.